Selasa, 16 Juli 2013

Forum Tok Tok Tok #4 Desain Nusantara - Mencari Jati Diri


NATIONAL DESIGN WEEK 2013 - HARTA KARUHUN

Mempersembahkan :

Forum Tok Tok Tok #4
DESAIN NUSANTARA - MENCARI JATI DIRI

Sebuah diskusi bersama :
Prof. Dr. H. Primadi Tabrani
(Guru besar Pendidikan Seni Rupa ITB)

Nusantara terdiri dari ribuan pulau yang terbentuk dari lempengan-lempengan benua. Sebuah negara maritim berkepulauan dengan limpahan kekayaan bumi, laut dan udara yang terlupakan juga manusianya yang beraneka ragam karakter dan  budayanya. Setelah puluhan tahun ilmu Seni Rupa dan Desain berkembang di Indonesia, tak banyak karya rupa yang mencitrakan kekayaan ragam budaya kita. Forum Tok Tok Tok #4 kali ini mengambil tema Desain Nusantara dalam rangka memperkuat jati diri dan karakter Nusantara di dalam dunia rupa Indonesia.

Moderator :
Indra Hastoadi Nugroho, M. Sc.
(Dosen Desain Produk Itenas)

Music Performance :
Symphoni Polyphonic

Waktu & Tempat :
Sabtu, 20 Juli 2013
Pk. 15.30 - 18.00
U&KL Eco Forestry Area
Jl. Gudang Selatan no. 88 Bandung

FREE ENTRY & TAJIL (untuk 100 pendaftar pertama)


More informations and registration :
Apeng : 0818 0899 7540
Twitter : @natdesignweek




NATIONAL DESIGN WEEK - HARTA KARUHUN
DESAIN NUSANTARA
PINCUK

'pincuk' yang merupakan alas makan terbuat dari daun pisang.

mulai dari pembuatan pincuk, digunakan, hingga dibuang.
pincuk terbuat dari lembaran daun pisang yang menyiratkan kita selalu memulai dengan lembaran baru,
ketika pincuk di dilipat kemudian ditusuk, menunjukan bahwa dalam hidup kita harus tegap dalam bersikap.
juga sisi pincuk yang terbuka melambangkan bahwa kebaikan harus diterima sebanyak mungkin,
sementara sisi pincuk yang tertutup melambangkan bahwa tidak boleh ada pintu untuk masuknya keburukan.
keseimbangan dalam memegang pincuk ditangan menunjukan bahwa kehidupan terkadang tidak seimbang, maka kita harus menjaga keseimbangannya.
untuk mengambil makanan pada pincuk, digunakan sendok yang disobek dari pincuk itu sendiri,hal tersebut mengajarkan kepada kita bahwa didalam hidup kita harus berkorban,

Setelah selesai pincuk digunakan, maka ia akan dibuang ; bahwa segala sesuatu didunia ini pasti akan berakhir

gambar pincuk :




 produk yang terinspirasi dari pincuk :







Tidak ada benda tanpa arti. Semua bentuk dan fungsi memiliki arti dan filosofi yang begitu mendalam
Para leluhur kita berpikir bahwa dalam mengembangkan kehidupan harus selaras dengan alam dan Tuhan agar semuanya seimbang.
Itulah yang menjadi kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur kita.

@natdesignweek


Coming soon, #forumtoktoktok

Rabu, 10 Juli 2013

Kita bertemu, bertatap muka, saling melempar senyum, 
menebar salam yang otomatis saling mendoa

Tiada sapa seindah salam, tiada pinta seagung doa. Semua ini bisa didapat saat silaturahmi, maka dengan ini..



Kami mahasiswa Desain Produk Itenas mengundang Mahasiswa dan Alumni Desain Produk 

untuk hadir pada acara Buka Bersama dan Silahturahmi Desain Produk.

Pada Hari Minggu 14 Juli 2013. HTM Rp. 50.000,00 (temasuk makan, minum dan tajil)


 bertempat di De Tuik Resto, Jl Bojong koneng atas haur manggung Cikutra
untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi
Mega : 085721268504
Panca : 088802395722


@nationaldesignweek


Sabtu, 06 Juli 2013

Daun pisang salah satu harta dari Alam yang dapat dimanfaatkan sebagai Payung





pohon pisang yang merupakan harta dari alam, yang juga mempunyai daun yg bisa dipakai sebagai payung atau perlindungan dari guyuran air hujan dan terik panas matahari,tak ayal orang jawa menyebutnya dengan gedhang; 
gegayuhane dhasar ngayomi = cita-citanya menjadi pelindung,melindungi dan mengayomi yg di isyaratkan dari daun pisang.

#nationaldesignweek #hartakaruhun

Kamis, 04 Juli 2013

bapak Zaini Alif salah satu Alumni Desain Produk Itenas yang membangun Komunitas Hong ; iProud kick andy cerdas indonesiaku 11

DESAIN NUSANTARA


Tidak seperti dunia Barat, desain produk bisa dibilang sesuatu yang baru di Indonesia. Di Barat, desain produk berkembang karena industrialisasi berbagai bidang kehidupan bangsa Barat, dari segi ekonomi maupun kebudayaan. Bangsa Barat berkembang menjadi bangsa kapitalis karena kebudayaan mereka sejak dulu memungkinkan itu. Mereka berkembang sesuai dengan akar budaya mereka. Demikian juga desain berkembang di dunia Barat. Desain berkembang menjadi sesuatu yang industrial dan massal.

Berbeda dengan Bangsa           Barat, Indonesia dahulu tidak mengenal desain. Produk-produk budaya yang diciptakan oleh leluhur kita bukanlah hasil desain, melainkan hasil pendalaman manusia atas posisinya di semesta ini, antara alam, manusia, dan Tuhan. Perenungannya begitu dalam sehingga semuanya diterjemahkan dan diwujudkan ke dalam semua aspek kehidupannya, baik dari arsitektur, penataan kota, sampai hal-hal kecil seperti aksesoris-aksesoris yang dipakai di tubuh.

Tidak ada benda tanpa arti. Semua bentuk dan fungsi memiliki arti dan filosofi yang begitu mendalam. Contoh yang paling sederhana adalah pincuk. Alas makan yang terbuat dari daun pisang itu mungkin terlihat tidak artinya jika dilihat dari mata masyarakat kota Indonesia saat ini. Padahal, pincuk memiliki arti filosofis yang begitu dalam, dari pincuk tersebut dibuat, digunakan, sampai dibuang. Lembaran-lembaran baru kehidupan dilambangkan oleh lapisan-lapisan daun pisang yang digunakan untuk membuat pincuk. Ketika pincuk dilipat ditusuk, itu menunjukkan bahwa dalam hidup, kita harus tegas dalam bersikap. Sisi pincuk yang terbuka melambangkan bahwa kebaikan harus diterima sebanyak mungkin, sementara sisi pincuk yang tertutup melambangkan bahwa tidak boleh ada pintu untuk keburukan. Keseimbangan dalam memegang pincuk di tangan menunjukkan bahwa kehidupan kadang tidak seimbang, oleh karena itu, harus dijaga keseimbangannya. Untuk mengambil makanan yang ada di pincuk, digunakan sendok yang disobek dari pincuk itu sendiri. Hal itu mengajarkan kita bahwa di dalam hidup kita harus berkorban. Selesai digunakan, pincuk dibuang; segala sesuatu di dunia ini pasti akan berakhir.
Contoh lainnya terdapat pada arsitektur Nusantara. Rumah-rumah adat Nusantara tidak pernah membangun pondasi di dalam tanah. Rumah-rumah hanya diletakkan di atas tanah menggunakan alas batu. Tujuannya adalah agar rumah tersebut dapat dipindahkan ke lokasi yang lain. Mereka hanya menumpang dan tidak mau melukai Bumi ini. Proses pembangunan rumah pun tidak asal bangun. Banyak ritual yang dilakukan untuk meminta restu dari leluhur dan Sang Pencipta agar pembangunan rumah dapat berjalan lancar. Bahan dan material rumah juga di ambil dari apa yang ada di lingkungan mereka – tidak mengimpor material-material dari luar daerah atau bahkan luar negeri.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa leluhur kita selalu memikirkan begitu dalam apa yang mereka lakukan, perbuat, dan ciptakan. Mereka selalu berpikir bahwa dalam mengembangkan kehidupan harus selaras dengan alam dan Tuhan agar semuanya seimbang. Itulah yang menjadi kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur kita.
Akan tetapi, mungkin, modernisasi telah membuat kita melupakan apa yang turunkan oleh leluhur kita, sebagai bekal hidup di tanah Nusantara. Masuknya Belanda ketika bangsa kita sedang dalam fase transisi menuju kristalisasi budaya Jawa-Hindu-Islam telah menghentikan proses tersebut. Terlebih, Belanda masuk tanpa memberikan kesempatan bangsa Indonesia ‘berdialog’ dengan budaya mereka. Akibatnya yang terjadi adalah westernisasi karena budaya Belanda menjadi budaya yang lebih superior dibandingkan budaya lokal, sehingga masyarakat lokal melihat budaya Barat lebih ‘keren’ dan ‘berkelas’.

Lupanya ingatan bangsa Indonesia terhadap kearifan lokal yang diturunkan dari leluhur kita mungkin dapat dilihat di banyak bidang kehidupan. Dari pembangunan kota yang hanya memikirkan uang tanpa memikirkan alam yang menjadi rusak, hilangnya rumah-rumah tradisional dari kehidupan sehari-hari, sampai nilai-nilai yang berubah di masyarakat, seperti nilai gotong royong mulai tergantikan dengan sifat individualis atau ekonomi koperasi menjadi ekonomi kapitalis.

Oleh karena itu, kembali ke desain produk, perkembangan desain produk di Indonesia tidak dapat disamakan dengan dunia desain di Barat. Kita memiliki akar munculnya desain produk yang berbeda dengan bangsa Barat yang industrialis. Alangkah lebih baiknya kita kembali ke akar budaya kita sebagai bangsa Indonesia yang diturunkan leluhur kita. Mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal agar dapat menjadi bangsa yang berkarakter.

Banyak yang telah dilakukan bangsa Indonesia beberapa tahun belakangan ini dalam mencari-cari cara untuk kembali ke jati dirinya. Namun, sayangnya, usaha itu tidak dilakukan dengan benar-benar mendalami inti filosofi yang menjadi asal muasal munculnya kebudayaan tersebut. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah penggunaan batik yang kembali populer setelah muncul klaim dari Malaysia. Batik dipakai dimana-mana, dari kain batik sesungguhnya sampai ‘batik-batikan’ yang ada di kain batik pabrikan atau yang hanya sekadar motif-motif di dinding atau mobil. Mereka lupa, bahwa filosofi batik itu bermacam-macam, tidak hanya sekadar motif. Tidak jarang yang menggunakan motif batik untuk anggota kerajaan untuk seragam karyawannya, menjadikan batik tersebut tidak relevan. Banyak pula tokoh-tokoh masyarakat yang ingin menunjukkan kepeduliannya terhadap kebudayaan Sunda dengan menggunakan ikat di kepalanya ke pertemuan-pertemuan. Akan tetapi, yang mereka gunakan adalah ikat untuk berkelahi. Tidak heran, mereka sering kali berkelahi ketika menghadiri pertemuan.


Mendesain sesuai budaya Nusantara tidak hanya sekedar menghias menggunakan ornamen-ornamen Nusantara, melainkan yang terpenting adalah mengangkat intisari dari makna budaya tersebut. Desain boleh jadi bergaya modern, tetapi nilai yang terkandung sangat kental dengan nilai kearifan lokal Nusantara. Itulah yang akan membedakan Desain Nusantara dengan desain dari negara-negara lain.

Alain  Malachi J. Bunjamin
Mahasiswa Desain Produk 
ITENAS

Rabu, 03 Juli 2013

Gotong Royong Merupakan Budaya Indonesia



Gotong royong adalah kerja sama yang dilakukan untuk satu tujuan dalam kepentingan bersama. Gotong royong merupakan budaya tradisional Indonesia yang telah diakjui sejak lama. Gotong royong juga memiliki arti saling membantu satu sama  lain demi kebahagiaan dan kerukunan di masyarakat.
Kultur gotong royong dalam masyarakat Indonesia merupakan entitas  yang sangat bernilai.Terbukti dengan budaya gotong royong tersebut, Indonesai bisa keluar dari belenggu penjajahan bangsa Belanda dan Jepang. Dalam konteks ,era kemerdekaan ini semangat gotong royong masih dibutuhkan guna meningkatkan daya saing Indonesia.
Gotong royong yang dilandasi semangat kekeluargaan bukan sebuah ungkapan klise. Ia adalah sebuah nilai dasar, kristalisasi pengalaman satu generasi lainnya dari himpunan manusia yang kita sebut manusia dan masyarakat Indonesia. Menurut Bung Karno, gotong royong dan semangat kekeluargaan adalah saripati dari nilai-nilai ke indonesiaan, sebuah esensi dari kultur ketimuran yang menjadi fondasi dari kehidupan bersama serta yang menjadi dasar nasionalisme Indonesia.
Berbagai kenyataan diungkapkan untuk mendukung pendapat bahwa gotong-royong adalah sifat dasar yang dimiliki bangsa Indonesia.sejak kecil kita diberikan doktrin bahwa gotong-royong adalah sifat dasar bangsa Indonesia yang menjadi unggulan bangsa ini dan tidak dimiliki bangsa lain.
Seiring berjalannya waktu, dengan perkembangan kehidupan yang ada , perkembangan teknologi juga masuknya budaya barat dan lainnya, telah dianggap menjadi sebab lunturnya nilai gotong royong pada bangsa Indonesia terutama pada kota-kota besar di Indonesia. Bahkan di pedesaan pun kini sudah mulai luntur, jika hal seperti ini didiamkan semakin lama tidak akan adanya kepedulian antar masyarakat.
Nila gotong royong itu sangat tinggi sekali jika kita rasakan dalam kehidupan ini, segala kegiatan yang berat apabila dikerjakan dengan bersama akan terasa lebih ringan. Karena itu setiap manusia membutuhkan orang lain, mereka tidak dapat hidup secara individualis. Dengan bergotong royong selain bermanfaat pada kerjaannya juga bermanfaat pada tali silaturahimnya.
Dengan lunturnya budaya gotong royong ini banyak sekali dampak nya, mulai dari jurang kemiskinan, kerusuhan masyarakat oleh ketidakadilan juga krisis ekonomi yang sekarang semakin meningkat di Indonesia.

Kearifan local Indonesia salah satunya ialah hidup secara bergotong royong , yaa gotong royong adalah warisan nusantara dari para leluhur kita, siapa lagi yang akan melestarikannya kalau bukan dimulai pada diri kita sendiri. Karena dengan hidup bersama segalanya akan terasa lebih mudah dan indah.

ngaliwet , tradisi sunda bergotong royong

Ngaliwet, demikian istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat sunda yang akan mengadakan makan bersama dengan menu spesial di akhir pekan. Ngaliwet bukan hanya sekedar makan bersama melainkan, ada ritual masak bersama pula. Mulai dari patungan biaya membeli bahan makanan atau menyumbangkan jenis bahan makanan mentah untuk dimasak. Ngaliwet menjadi tradisi orang sunda yang telah lama ada.  Tradisi ngaliwet ini sadar atau tidak merupakan budaya bergotong royong, mengerjakan nya tentu butuh anggota lainnya agar lebih mudah juga lebih cepat.

Ngaliwet menjadi acara special karena, disajikan dengan cara yang berbeda dari memasak nasi biasa. Ngaliwet membutuhkan sebuah kastrol untuk memasak. Bentuknya bulat lonjong. Biasanya sering digunakan sebagai peralatan camping. Sebelum memasak nasi, terlebih dahulu diawali menggoreng irisan beberapa siung bawang merah lalu memasukkan air dengan ukuran perbandingan beras. Bumbu tambahannya biasa digunakan beberapa daun salam, sereh, dan garam. Untuk lauknya bisa apa saja sesuai selera . misalnya terdapat ikan bakar atau ayam bakar, ikan asin, lalapan , sambal, tempe, tahu. Dan semuanya disimpan di atas nasi.

Setelah nasi matang, maka, akan disiapkan beberapa lembar daun pisang sebagi pengganti piring untuk alas makan. Ya inilah tradisi orang sunda makan dengan ‘ alas ‘ daun pisang yang biasa disebut pincuk. Namun pincuk ukurannya biasanya lebih kecil. Untuk liwet ini biasanya pada lahan kosong kita ‘ menggelar ‘ panjang daun pisang kemudia duduk berhadapan dan makan bersama-sama.


Lestarikanlah tradisi budaya kita agar tidak luntur atau hilang oleh jaman J

Selasa, 02 Juli 2013

Yori Antar: Pendekar Arsitektur Nusantara

Arsitektur rumah tradisional - Yori Antar

Ketika dampak global warming sudah mendunia, sebenarnya Indonesia sudah memiliki jawabannya.  Arsitektur tradisional Indonesia sudah mengadopsi sustainable architecture dan eco architecture. Masyarakat dunia menyebut arsitektur Bali sebagai arsitektur tropis dan mengimpornya untuk resort-resort mereka. Namun Indonesia juga memiliki Nias, Batak, Minangkabau, Toraja, Flores, Papua, Banjar, Dayak, dan Joglo. Pada kantor beliau pajang maket-maket rumah adat itu sebagai tribute to our local genius.  

Desain-desainnya memberikan satu kearifan lokal, bagaimana cara membangun, bersikap terhadap iklim juga kelembaban tanah. Pada saat terjadi gempa di Nias rumah-rumah tradisional itu bertahan karena strukturnya dibuat knock down dan mudah dipindah-pindahkan. Materialnya juga tidak diimpor dari Cina atau Amerika tapi dari kebon sekitar. Itu sangat sustainable. Pada saat membangun juga mengawali dengan upacara-upacara adat untuk meminta izin terlebih dahulu.
Beliau juga memiliki proyek di pedalaman Flores butuh enam bulan untuk minta izin penguasa hutan. Masyarakat pedalaman disana kenyataannya sangat arif menjaga hutannya. Itu pertanyaan besar buat kita yang mengklaim orang modern. Sepertinya kita dididik dengan nilai-nilai yang baik, tapi malah jadi orang rakus, dan kini harga rumah jadi mahal karena semua mengejar style. Padahal dengan berfikir cerdas bisa membuat rumah yang jauh lebih murah dengan material lokal. Arsitek yang baik tidak harus membuat rumah menjadi mahal.

Desain beliau modern, tropis, dan natural. menggunakan material-material lokal, cukup sinar agar tidak banyak pakai lampu, dan sirkulasi udara lancar sehingga ketergantungan terhadap energi bisa dikurangi. Kalau pun listrik mati penghuni masih nyaman tinggal di dalamnya.


Beliau mengatakan butuh pergulatan panjang. Sinergi yang panjang tentu menghabiskan banyak waktu dan energi sampai muncul sebuah rumah yang diinginkan. Ngobrol-ngobrol desainnya saja ada yang sampai setahun lebih. Karena beliau selalu berintrospeksi, belajar dari kesalahan, karena kesalahan adalah guru yang terbaik.
Beliau juga masih mencari bentuk arsitektur yang paling tepat untuk bangsa Indonesia. Beliau belajar dari kearifan local di daerah-daerah, mulai dari Nias, Toraja, Sumba, Flores, Kalimantan. Beliau mempelajari rumah-rumah adat disana agar besok apabila akan merancang bisa menghasilkan arsitektur yang baik dan benar. Baik dalam segi desain, sikap juga attitude. Agar karya kita tidak lekang dimakan oleh jaman.
Bagi beliau profesi arsitek lebih kurang sama dengan dokter, harus bisa melayani penyakit yang paling kampungan sampai yang paling sophisticated.

beliau mendapatkan award yang rata-ratanya terletak dipedalaman seperti ;
Arcasia Award untuk rumah di Timor, IAI Award 2008 untuk proyek rumah sintang di Kalimantan yang semuanya terbuat dari kayu. Beliau memenangkan sayembara desain Menara Maluku, sayembara interchange Dukuh Atas (Jakarta Pusat) untuk perkotaan.

Beliau mengharapkan arsitekturnya bisa memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan sosial dan politik, tidak hanya sumbangan bagi yang punya rumah. Ketika beliau mendesain menara Maluku, ia mengharapkan menara itu bisa menjadi generator pembangunan kota Ambon. Ambon bisa menjadi terkenal, dan orang tertarik mempelajari budaya Maluku. Itulah nilai tambah sebuah bangunan.

Senin, 01 Juli 2013

Upacara Tarik Batu - Sumba

TARIK Batu Kubur atau yang dalam bahasa Sumba disebut Tengi Watu merupakan salah satu upacara adat paling besar dalam kehidupan orang Sumba. Mengingat lempengan batu biasanya dibuat di lokasi yang agak jauh dan berbobot sekian ton, tentu diperlukan tenaga ratusan orang untuk membawanya hingga tiba ke lokasi akhir (kampung tradisional) yang umumnya berada di puncak bukit. Pengerahan tenaga kerja dalam jumlah besar jelas memerlukan biaya yang tidak sedikit, untuk makan, minum, peralatan, belum lagi ritual-ritual yang harus diselenggrakan. Dengan kata lain upacara tarik batu adalah upacara yang sangat mahal. Seperti pembangunan rumah adat, pembuatan dan penarikan batu kubur didahului tahap perundingan untuk membicarakan berbagai permasalahan termasuk masalah teknis dan finansial. Terdapat 3 tahap ;

  1. Pencarian Bahan
    soal batu, tidak boleh asal pilih tapi harus memperhatikan jenis yang paling tepat: tidak terlalu keras agar mudah dipahat, sekaligus kuat agar tidak mudah keropos atau patah saat ditarik. Lokasi pun harus strategis agak tidak menyulitkan prosesi penarikan kelak.

  1. Pemotongan Batu
    memotong bahan baku tersebut menjadi lempengan-lempengan batu kubur sesuai bentuk dan ukuran yang diinginkan. Kegiatan ini diawali dengan ritual pemujaan sederhana dengan tujuan menghalau roh-roh penunggu batu.

  1. Penarikan Batu
    terlebih dahulu dilakukan ritual pemujaan dengan menyembelih babi bertaring, serta mempersembahkan sesaji berupa 7 batang sirih, 7 iris pinang, 7 kerat perak, telur ayam, kelapa gading serta tempurung kelapa berisi setangkup beras (koba uratta). Semuanya dipersembahkan kepada roh penunggu batu demi menjamin kelancaran prosesi. Begitu batu ditarik dan bergeser dari tempatnya, seekor ayam jantan dilepas dan kelapa gading dipecahkan pada tempat batu tadinya berada sebagai pertanda bahwa roh penunggu telah memberi ijin.
Description: http://www.westsumba.com/www/my_documents/my_pictures/2D1_tarik-batu-1.jpgDescription: http://www.westsumba.com/www/my_documents/my_pictures/5DD_tarik-batu-2.jpg

Penarikan batu kubur jelas bukan jenis pekerjaan yang dapat dianggap enteng, apa lagi jika lokasi tujuan berada jauh di atas bukit. Makin besar batu, makin panjang pula tali yang diperlukan sebagai pegangan para penarik yang jumlahnya bisa mencapai ratusan orang. Sementara kayu digunakan untuk lokasi pemotongan batu kubur dua keperluan. Pertama: sebagai landasan lempengan batu (tiena watu) agar sewaktu ditarik tidak rusak atau pecah. Untuk keperluan ini biasanya digunakan kayu kelapa, dimana ujung salah satu kayu dibiarkan menjulur dari bawah batu lalu diukir serupa kepala kuda. Kedua: sebagai roda atau rel (kala/ mada) guna memudahkan proses penarikan. Biasanya berupa puluhan kayu bulat yang dijajarkan sepanjang rute penarikan.

Selama prosesi berlangsung, seseorang yang telah ditunjuk sebagai pemimpin, berdiri di atas batu seraya melantunkan nyanyian dan syair-syair adat berisi pemujaan terhadap marapu serta gubahan kisah kebesaran si empunya batu, juga serangkaian aba-aba untuk menyemangati para penarik. Lempengan batu biasanya dihiasi berlembarlembar kain tenun yang dibentangkan laksana layar. Batu itu sendiri dipandang sebagai kapal yang tengah berlayar menuju Parai Marapu (dunia para arwah). Setelah batu tiba di kampung dan didudukkan di tempat yang semestinya, prosesi pun ditutup melalui gelaran ritual yang dikenal dengan sebutan Basa Wai Lima. Secara harafiah Basu Wai Lima berarti cuci tangan, sementara makna yang lebih dalam adalah membasuh keringat para pekerja, dan lebih dalam lagi sebagai ungkapan syukur kepada Sang Kuasa serta terimakasih kepada seluruh kaum kerabat yang telah berpartisipasi dari awal hingga akhir. Pada kesempatan ini sejumlah kerbau serta babi disembelih (bisa belasan bahkan puluhan ekor, tergantung kemampuan si empunya acara), lalu dagingnya dibagikan kepada seluruh peserta upacara.

Jika dilihat dengan kaca mata zaman kini prosesi tarik batu tampak sederhana. Tapi coba dudukkan perkaranya seperti ini: Obyek: lempengan batu besar. Bobot: puluhan ton. Rute: panjang dan tak rata. Tujuan: puncak bukit. Lalu lihat sekali lagi dengan sudut pandang abad silam sewaktu teknologi bahkan belum termasuk daftar kata yang dikenal. Maka yang terlihat adalah seperti ini: kemampuan nenek moyang orang Sumba memikirkan teknik angkut yang tergolong canggih pada zamannya (baca: teknologi). Aspek lain yang dapat dipetik dari prosesi ini adalah kemampuan perencanaan, pengaturan kelompok, pembagian kerja serta kuatnya semangat gotong royong (baca: kearifan lokal).

Namun patut disayangkan dalam beberapa dekade terakhir tradisi budaya ini pelan-pelan mulai bergeser. Dari kuburan batu asli kini beralih ke kuburan semen. Kalaupun ada yang tetap menggunakan batu, maka prosesinya yang dipangkas, bukan lagi ditarik beramai-ramai seperti zaman dulu tapi diangkut dengan truk. Penyebabnya mudah diduga, antara lain masalah finansial, pengaruh modernisasi dan hilangnya semangat gotong royong. Material modern seperti semen, beton serta pasir lebih murah dan mudah didapat, pengerjaannya pun tak rumit jadi dianggap praktis dan ekonomis. Materialmaterial tersebut secara keliru dianggap lebih berkelas, maka begitulah, substansi pun tergantikan oleh gaya. Tetapi bukan berarti budaya ini telah punah sepenuhnya, sesekali ada juga keluarga-keluarga tertentu yang masih menjalankan upacara tarik batu dengan segenap ritual dan kemegahannya.

Langkanya kini tradisi gotong royong Menumbuk Padi

Kemajuan teknologi pertanian menjadikan pekerjaan petani semakin mudah dan cepat. Salah satunya hadirnya mesin giling padi yang mampu menghasilkan beras secara cepat. Namun dibalik kemajuan teknologi ini sebenarnya telah menggeser budaya petani dari tradisi menumbuk padi secara kolektif yang sarat dengan kebersamaan.
Pekerjaan menumbuk padi saat ini tinggal menjadi sejarah pertanian bagi generasi era kini. Namun, di beberapa wilayah pedesaan masih dapat dijumpai peralatan menumpuk padi berupa lesung dan alu. Sebagian petani juga masih ada yang melestarikan tradisi ini. Salah satunya petani di Desa Karangrejek, Wonosari, Gunungkidul.
Setelah dipanen, padi dikeringkan kemudian ditumbuk untuk menghasilkan beras. Menumbuk padi biasa dilakukan oleh ibu-ibu yang berjumlah lebih dari satu orang. Mereka ada yang bertugas menumbuk padi dan ada pula yang bertugas mengayak hasil tumbukan padi dengan menggunakan tampah. Tujuannya adalah untuk memisahkan beras dari sekam padi. mereka semua bergotong royong bersama - sama
Dalam aktivitas menumbuk padi ibu-ibu saling bersahutan menghentakkan alu pada lesung. Suara hentakan alu menimbulkan irama bunyi tersendiri yang biasanya diikuti dengan tembang-tembang yang menggambarkan pertanian, misalnya lumbung desa, kanca tani, bangun desa dan lesung jumengglung. Alunan tembang yang keluar dari mulut para penumbuk padi ternyata mampu menghibur dan menghilangkan rasa lelah. Kegiatan menumbuk padi juga mengandung nilai kebersamaan dan menjauhkan dari sifat individualistis.
Selain memupuk nilai kebersamaan, menumbuk padi menghasilkan beras berkualitas bagus untuk kesehatan. Proses pembuatannya yang tidak instant menjadikan beras yang dihasilkan tidak terlalu bersih karena masih ada sisa kulit ari yang tertempel. Beras seperti inilah yang sebenarnya mengandung banyak nutrisi yang baik untuk kesehatan. Maka tidak mengherankan jika orang-orang dahulu tidak mudah terserang penyakit degeneratif seperti diabetes karena mereka mengkonsumsi beras tumbukan yang mengandung banyak vitamin. Hadirnya mesin giling padi praktis membuat kegiatan menumbuk padi hilang ditelan jaman.

sumber : jogjatv.tv

Komunitas Hong: Pelestari Permainan Anak Tradisional

Sebuah komunitas di Subang, yang bernama Komunitas Hong berupaya mendokumentasikan, melestarikan dan mempopulerkan kembali berbagai mainan tradisional, khususnya yang berasal dari Jawa Barat.
Pada Awalnya
Di suatu Subuh, seorang anak lelaki yang menginjak remaja, Mohamad Zaini Alif, berjalan kaki menuju sekolahnya di SMPN 1 Tanjungsiang, Kabupaten Subang. Napasnya sedikit terengah, karena ia harus menempuh perjalanan sejauh 5 km atau 1,5 jam berjalan kaki. Namun, pemandangan pepohonan karet dan kluwak di kebun sepanjang perjalanan serta embun pagi membuatnya selalu segar dan tidak lelah.
Waktu yang ditunggunya adalah saat pulang sekolah. Ia bersama teman-temannya mencari biji pepohonan karet dan kluwak untuk dibuat kerkeran, mainan seperti kipas angin. Baling-balingnya terbuat dari bambu dengan penyangga dari biji karet, kluwak, atau batok kelapa. Bagi anak kampung seperti dirinya, mainan buatan sendiri adalah bagian indah dari hidup yang terbawa hingga dewasa.
Lelaki kelahiran Cibuluh, Kecamatan Tanjung Siang, Kabupaten Subang, Jawa Barat ini memainkan berbagai jenis permainan di antaranya kolecer (sejenis kipas angin yang dipancang di sawah atau huma) dan karinding(alat tiup dari batang bambu yang disobek tengahnya) untuk mengusir binatang hama padi seperti serangga dan burung. Ia juga membuat wayang golek dari batang daun singkong yang mengering.
Kecintaan kepada mainan tradisional asli Sunda membawa pria yang kini berusia 32 tahun itu menempuh pendidikan di Desain Produk Institut Teknologi Nasional (ITENAS) dan ITB untuk meraih gelar S1 dan S2. Sejak 1996 ia mulai melakukan penelitian tentang mainan tradisional. Tak mudah melakukan penelitian itu karena sumbernya sangat sedikit. Lantaran penelitian permainan Sunda dan berniat untuk melestarikan, ia pun mendirikan komunitas Hong.
Pendirian Komunitas
Komunitas Hong didirikan pada tahun 2003 dan melakukan penelitian mainan sejak tahun 1996. Komunitas mainan rakyat ini bertekad melestarikan mainan dan permainan rakyat. Komunitas ini terdiri dari 150 anggota yang berasal dari masyarakat tingkatan usia dari mulai usia 6 tahun sampai usia 90 tahun. Kelompok anak adalah pelaku dalam permainan sedangkan untuk anggota dewasa adalah sebagai narasumber dan pembuat mainan.
Komunitas mainan rakyat ini berusaha menggali dan merekonstruksi mainan rakyat, baik itu dari tradisi lisan atau tulisan berupa naskah-naskah kuno dan berusaha memperkenalkan mainan rakyat dengan tujuan menanamkan sebuah pola pendidikan masyarakat buhun agar seorang anak mengenal dirinya, lingkungannya, dan Tuhannya.
Dengan acuan pandangan tersebut maka Komunitas Hong sebagai Pusat Kajian mainan Rakyat mencoba untuk melestarikan produk mainan rakyat sebagi artefak budaya agar tidak punah dan tetap lestari, melakukan binaan budaya bermain anak melalui pelatihan untuk anak-anak agar budaya bermain yang berbasis budaya lokal tetap bertahan, dan mengembangkan produk mainan rakyat sebagai dasar pengembangan mainan anak yang ada untuk kebutuhan dalam dunia pendidikan.
Mengacu pada tujuan-tujuan tersebut, komunitas Hong menerapkan kegiatan-kegiatan, antara lain: membuat Kampung kolecer, tempat melatih mainan dan permainan rakyat yang ada di Kampung Bolang, Desa Cibuluh Kec. Tanjungsiang Kab. Subang, serta mendirikan Museum Mainan Rakyat di Bandung untuk mengangkat dan memperkenalkan mainan rakyat, dan menyelenggarakan Festival Kolecer, yaitu festival mainan rakyat dengan berbagai upacara adat dalam pendidrian mainan.
Oleh karena itu , NATIONAL DESIGN WEEK 2013 : HARTA KARUHUN akan mengundang Zaini Alif untuk berbagi Harta Karuhun ( Leluhur ) mengenai Permainan Tradisional dalam ngobrol-ngobrol santai Ngawangkong.

Dahulu kala Indonesia bernama Sunda

Fakta - Pada waktu belajar geografi (ilmu bumi) kita menemui sebutan Sunda Besar (Greater Sunda) dan Sunda Kecil (Lesser Sunda). Sunda Besar meliputi pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, sedangkan Sunda Kecil meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Gabungan dari keduanya di zaman dahulu bahkan dinamakan kepulauan Sunda (Sunda Islands). Mungkin pernah tebersit dalam otak kita mengapa di zaman beheula Indonesia dinamakan Sunda.


Menurut penelitian sejarah, kata ‘sunda’ ini sudah dipakai oleh pakar ilmu bumi Ptolemeus pada tahun 150 mengacu pada tiga pulau besar yang terletak di timur India. Kata ‘sunda’ ini berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna ‘bersinar, terang, putih’. Istilah inilah yang kemudian dipakai secara luas oleh pakar ilmu bumi dan kartografer (pembuat atlas) Eropa untuk merujuk pada kawasan yang pada zaman sekarang ini merupakan wilayah kedaulatan Indonesia. Sudah barang tentu tak persis sekali, misalnya Molucca (Maluku) dan Papua tidak termasuk di dalamnya dan dianggap sebagai entitas tersendiri.

Pada atlas yang dibuat oleh Giacomo de Rossi pada tahun 1683, kawasan nusantara ini disebut dengan ’Isole della Sonda’ (kepulauan Sunda). Ada juga peta kuno yang terbuat dari perunggu yang digrafir (engraved copper) tahun 1719 buatan Jerman yang dinamakan ’Die Inseln von Sonte’ (perhatikan cara mengeja orang Barat yang menuliskannya dengan ’sonda’ atau ’sonte’). Bahkan saya menemukan juga gambar ’penduduk Indonesia’ menurut versi mereka pada tahun 1719 itu yang diberi judul ’Habitans des Isles dela Sonde’ (penduduk kepulauan Sunda).

Perjalanan sejarah mencatat bahwa nama ’Sunda’ ini kemudian mengerucut merujuk kepada kerajaan yang berdiri pada abad ke 7 di Pakuan Pajajaran ( kini di sekitar Bogor). Kerajaan Sunda ini runtuh pada tahun 1579, karena pengaruh kekuatan dari Jawa dan kolonialis Belanda. Selama masa penjajahan Belanda, wilayah negara kita dinamakan dengan ’Nederlands Indie’ (Hindia Belanda), namun tercatat pada tahun 1850 seorang antropolog Inggris bernama J.R. Logan memberi nama tanah air kita dengan Indonesia. Menilik nama ’Sunda’ jauh lebih tua dibandingkan dengan ’Indonesia’, mungkin ada pertanyaan menggelitik dari Anda ’Why Indonesia and not Sunda?’ Pertanyaan ini amat sulit dijawab, karena sejarah mempunyai jalannya sendiri yang tidak linier

Menggali Harta Karuhun(Harta Leluhur) dalam arsitektur Nusantara

Panas. Itu yang kami rasakan saat berkunjung ke kantor Han Awal & Partners, Ltd. di Bintaro hari Jumat. Jakarta memang sangat panas, sih, tapi bukan itu yang kami rasakan. Panas yang kami rasakan adalah semangat yang begitu terbakar ketika kami berbincang dengan Yori Antar, arsitek ternama Indonesia yang mendapat penghargaan tertinggi UNESCO tahun kemarin dan finalis nominasi Aga Khan, penghargaan tertinggi arsitektur dunia.

Pembicaraan dengan beliau dimulai dengan sangat grogi dan kikuk. Kami sampai-sampai tidak tahu mau mulai pembicaraan dari mana. Untung di samping penghargaan orang-orang kepada Yori Antar yang begitu tinggi, beliau tetap down to earth ketika menerima kami. Beliau-lah yang memulai pembicaraan dengan keingintahuannya terhadap Desain Produk ITENAS.

Perbincangan dilanjutkan dengan cerita-cerita pengalamannya mengunjungi desa adat-desa adat di Nusantara, dari Sumatera sampai Papua. Nah, yang paling terkenal dan membuat namanya melambung tinggi adalah membangun ulang 3 rumah adat Wae Rebo. Beliau bersama tim mahasiswa dan yayasan sponsor mengunjungi desa yang saat itu belum terkenal di kalangan orang Indonesia, walaupun sudah banyak bule-bule yang menginap di sana sampai berbulan-bulan. Desa Wae Rebo, sebuah desa adat di Flores, memiliki 7 rumah adat bernama Mbaru Niang yang didirikan oleh leluhur mereka. Namun, sayangnya, dua rumah sudah termakan waktu dan hancur. Sementara, mereka tidak memiliki dana dan pengetahuan yang diturunkan untuk membangun ulang rumah itu. Oleh karena itu, Yori Antar bersama timnya mempreteli satu rumah adat untuk mendalami teknik yang digunakan di bangunan tersebut dan membangun ulang rumah itu dan 2 rumah lainnya yang sudah hancur.

Beliau telah membangun rumah adat di Nias, Sumba, Flores, dan sedang mengerjakan proyek membangun kembali Rumah Gadang di Sumatera Barat dan menghidupkan kembali rumah adat yang telah punah Papua.

Beliau bilang,”Ada mindset yang harus dibalik: Bukan dunia yang menginspirasi Indonesia, tapi Indonesia yang menginspirasi dunia.” Karena pada kenyataannya, dunialah yang belajar banyak dari Indonesia. Dari insinyur dan arsitek dunia yang belajar rumah tahan gempa dari arsitektur Nusantara sampai negara-negara seperti Tibet dan Kamboja yang ada karena manusia Nusantara ratusan tahun yang lalu. Untuk itulah kita harus mengenal dan mendalami kembali kekayaan Nusantara agar kita dapat membangun fondasi yang kuat untuk pembangunan bangsa yang sesuai dengan identitas kita, bukannya meniru negara-negara seperti Amerika, Jerman, Jepang, dll.
___________________

Dunia arstikek telah membangkitkan istilah Arsitektur Nusantara. Mereka telah lebih dulu menemukan identitas arsitektur Nusantara dan mengembangkannya menjadi arsitektur yang berkarakter Nusantara dan dihargai oleh dunia internasional.
Oleh karena itu, NATIONAL DESIGN WEEK 2013: HARTA KARUHUN akan mengundang Arsitek Yori Antar untuk berbagi Harta Karuhun(Harta Leluhur) kita yang telah ditemukannya dalam ngobrol-ngobrol santai Ngawangkong. :)

sumber : kidsnesia.com