Selasa, 02 Juli 2013

Arsitektur rumah tradisional - Yori Antar

Ketika dampak global warming sudah mendunia, sebenarnya Indonesia sudah memiliki jawabannya.  Arsitektur tradisional Indonesia sudah mengadopsi sustainable architecture dan eco architecture. Masyarakat dunia menyebut arsitektur Bali sebagai arsitektur tropis dan mengimpornya untuk resort-resort mereka. Namun Indonesia juga memiliki Nias, Batak, Minangkabau, Toraja, Flores, Papua, Banjar, Dayak, dan Joglo. Pada kantor beliau pajang maket-maket rumah adat itu sebagai tribute to our local genius.  

Desain-desainnya memberikan satu kearifan lokal, bagaimana cara membangun, bersikap terhadap iklim juga kelembaban tanah. Pada saat terjadi gempa di Nias rumah-rumah tradisional itu bertahan karena strukturnya dibuat knock down dan mudah dipindah-pindahkan. Materialnya juga tidak diimpor dari Cina atau Amerika tapi dari kebon sekitar. Itu sangat sustainable. Pada saat membangun juga mengawali dengan upacara-upacara adat untuk meminta izin terlebih dahulu.
Beliau juga memiliki proyek di pedalaman Flores butuh enam bulan untuk minta izin penguasa hutan. Masyarakat pedalaman disana kenyataannya sangat arif menjaga hutannya. Itu pertanyaan besar buat kita yang mengklaim orang modern. Sepertinya kita dididik dengan nilai-nilai yang baik, tapi malah jadi orang rakus, dan kini harga rumah jadi mahal karena semua mengejar style. Padahal dengan berfikir cerdas bisa membuat rumah yang jauh lebih murah dengan material lokal. Arsitek yang baik tidak harus membuat rumah menjadi mahal.

Desain beliau modern, tropis, dan natural. menggunakan material-material lokal, cukup sinar agar tidak banyak pakai lampu, dan sirkulasi udara lancar sehingga ketergantungan terhadap energi bisa dikurangi. Kalau pun listrik mati penghuni masih nyaman tinggal di dalamnya.


Beliau mengatakan butuh pergulatan panjang. Sinergi yang panjang tentu menghabiskan banyak waktu dan energi sampai muncul sebuah rumah yang diinginkan. Ngobrol-ngobrol desainnya saja ada yang sampai setahun lebih. Karena beliau selalu berintrospeksi, belajar dari kesalahan, karena kesalahan adalah guru yang terbaik.
Beliau juga masih mencari bentuk arsitektur yang paling tepat untuk bangsa Indonesia. Beliau belajar dari kearifan local di daerah-daerah, mulai dari Nias, Toraja, Sumba, Flores, Kalimantan. Beliau mempelajari rumah-rumah adat disana agar besok apabila akan merancang bisa menghasilkan arsitektur yang baik dan benar. Baik dalam segi desain, sikap juga attitude. Agar karya kita tidak lekang dimakan oleh jaman.
Bagi beliau profesi arsitek lebih kurang sama dengan dokter, harus bisa melayani penyakit yang paling kampungan sampai yang paling sophisticated.

beliau mendapatkan award yang rata-ratanya terletak dipedalaman seperti ;
Arcasia Award untuk rumah di Timor, IAI Award 2008 untuk proyek rumah sintang di Kalimantan yang semuanya terbuat dari kayu. Beliau memenangkan sayembara desain Menara Maluku, sayembara interchange Dukuh Atas (Jakarta Pusat) untuk perkotaan.

Beliau mengharapkan arsitekturnya bisa memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan sosial dan politik, tidak hanya sumbangan bagi yang punya rumah. Ketika beliau mendesain menara Maluku, ia mengharapkan menara itu bisa menjadi generator pembangunan kota Ambon. Ambon bisa menjadi terkenal, dan orang tertarik mempelajari budaya Maluku. Itulah nilai tambah sebuah bangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar