Senin, 01 Juli 2013

Upacara Tarik Batu - Sumba

TARIK Batu Kubur atau yang dalam bahasa Sumba disebut Tengi Watu merupakan salah satu upacara adat paling besar dalam kehidupan orang Sumba. Mengingat lempengan batu biasanya dibuat di lokasi yang agak jauh dan berbobot sekian ton, tentu diperlukan tenaga ratusan orang untuk membawanya hingga tiba ke lokasi akhir (kampung tradisional) yang umumnya berada di puncak bukit. Pengerahan tenaga kerja dalam jumlah besar jelas memerlukan biaya yang tidak sedikit, untuk makan, minum, peralatan, belum lagi ritual-ritual yang harus diselenggrakan. Dengan kata lain upacara tarik batu adalah upacara yang sangat mahal. Seperti pembangunan rumah adat, pembuatan dan penarikan batu kubur didahului tahap perundingan untuk membicarakan berbagai permasalahan termasuk masalah teknis dan finansial. Terdapat 3 tahap ;

  1. Pencarian Bahan
    soal batu, tidak boleh asal pilih tapi harus memperhatikan jenis yang paling tepat: tidak terlalu keras agar mudah dipahat, sekaligus kuat agar tidak mudah keropos atau patah saat ditarik. Lokasi pun harus strategis agak tidak menyulitkan prosesi penarikan kelak.

  1. Pemotongan Batu
    memotong bahan baku tersebut menjadi lempengan-lempengan batu kubur sesuai bentuk dan ukuran yang diinginkan. Kegiatan ini diawali dengan ritual pemujaan sederhana dengan tujuan menghalau roh-roh penunggu batu.

  1. Penarikan Batu
    terlebih dahulu dilakukan ritual pemujaan dengan menyembelih babi bertaring, serta mempersembahkan sesaji berupa 7 batang sirih, 7 iris pinang, 7 kerat perak, telur ayam, kelapa gading serta tempurung kelapa berisi setangkup beras (koba uratta). Semuanya dipersembahkan kepada roh penunggu batu demi menjamin kelancaran prosesi. Begitu batu ditarik dan bergeser dari tempatnya, seekor ayam jantan dilepas dan kelapa gading dipecahkan pada tempat batu tadinya berada sebagai pertanda bahwa roh penunggu telah memberi ijin.
Description: http://www.westsumba.com/www/my_documents/my_pictures/2D1_tarik-batu-1.jpgDescription: http://www.westsumba.com/www/my_documents/my_pictures/5DD_tarik-batu-2.jpg

Penarikan batu kubur jelas bukan jenis pekerjaan yang dapat dianggap enteng, apa lagi jika lokasi tujuan berada jauh di atas bukit. Makin besar batu, makin panjang pula tali yang diperlukan sebagai pegangan para penarik yang jumlahnya bisa mencapai ratusan orang. Sementara kayu digunakan untuk lokasi pemotongan batu kubur dua keperluan. Pertama: sebagai landasan lempengan batu (tiena watu) agar sewaktu ditarik tidak rusak atau pecah. Untuk keperluan ini biasanya digunakan kayu kelapa, dimana ujung salah satu kayu dibiarkan menjulur dari bawah batu lalu diukir serupa kepala kuda. Kedua: sebagai roda atau rel (kala/ mada) guna memudahkan proses penarikan. Biasanya berupa puluhan kayu bulat yang dijajarkan sepanjang rute penarikan.

Selama prosesi berlangsung, seseorang yang telah ditunjuk sebagai pemimpin, berdiri di atas batu seraya melantunkan nyanyian dan syair-syair adat berisi pemujaan terhadap marapu serta gubahan kisah kebesaran si empunya batu, juga serangkaian aba-aba untuk menyemangati para penarik. Lempengan batu biasanya dihiasi berlembarlembar kain tenun yang dibentangkan laksana layar. Batu itu sendiri dipandang sebagai kapal yang tengah berlayar menuju Parai Marapu (dunia para arwah). Setelah batu tiba di kampung dan didudukkan di tempat yang semestinya, prosesi pun ditutup melalui gelaran ritual yang dikenal dengan sebutan Basa Wai Lima. Secara harafiah Basu Wai Lima berarti cuci tangan, sementara makna yang lebih dalam adalah membasuh keringat para pekerja, dan lebih dalam lagi sebagai ungkapan syukur kepada Sang Kuasa serta terimakasih kepada seluruh kaum kerabat yang telah berpartisipasi dari awal hingga akhir. Pada kesempatan ini sejumlah kerbau serta babi disembelih (bisa belasan bahkan puluhan ekor, tergantung kemampuan si empunya acara), lalu dagingnya dibagikan kepada seluruh peserta upacara.

Jika dilihat dengan kaca mata zaman kini prosesi tarik batu tampak sederhana. Tapi coba dudukkan perkaranya seperti ini: Obyek: lempengan batu besar. Bobot: puluhan ton. Rute: panjang dan tak rata. Tujuan: puncak bukit. Lalu lihat sekali lagi dengan sudut pandang abad silam sewaktu teknologi bahkan belum termasuk daftar kata yang dikenal. Maka yang terlihat adalah seperti ini: kemampuan nenek moyang orang Sumba memikirkan teknik angkut yang tergolong canggih pada zamannya (baca: teknologi). Aspek lain yang dapat dipetik dari prosesi ini adalah kemampuan perencanaan, pengaturan kelompok, pembagian kerja serta kuatnya semangat gotong royong (baca: kearifan lokal).

Namun patut disayangkan dalam beberapa dekade terakhir tradisi budaya ini pelan-pelan mulai bergeser. Dari kuburan batu asli kini beralih ke kuburan semen. Kalaupun ada yang tetap menggunakan batu, maka prosesinya yang dipangkas, bukan lagi ditarik beramai-ramai seperti zaman dulu tapi diangkut dengan truk. Penyebabnya mudah diduga, antara lain masalah finansial, pengaruh modernisasi dan hilangnya semangat gotong royong. Material modern seperti semen, beton serta pasir lebih murah dan mudah didapat, pengerjaannya pun tak rumit jadi dianggap praktis dan ekonomis. Materialmaterial tersebut secara keliru dianggap lebih berkelas, maka begitulah, substansi pun tergantikan oleh gaya. Tetapi bukan berarti budaya ini telah punah sepenuhnya, sesekali ada juga keluarga-keluarga tertentu yang masih menjalankan upacara tarik batu dengan segenap ritual dan kemegahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar