Tidak seperti dunia Barat, desain produk bisa dibilang sesuatu
yang baru di Indonesia. Di Barat, desain produk berkembang karena
industrialisasi berbagai bidang kehidupan bangsa Barat, dari segi ekonomi
maupun kebudayaan. Bangsa Barat berkembang menjadi bangsa kapitalis karena kebudayaan
mereka sejak dulu memungkinkan itu. Mereka berkembang sesuai dengan akar budaya
mereka. Demikian juga desain berkembang di dunia Barat. Desain berkembang
menjadi sesuatu yang industrial dan massal.
Berbeda dengan Bangsa
Barat, Indonesia dahulu tidak mengenal desain. Produk-produk budaya yang
diciptakan oleh leluhur kita bukanlah hasil desain, melainkan hasil pendalaman
manusia atas posisinya di semesta ini, antara alam, manusia, dan Tuhan.
Perenungannya begitu dalam sehingga semuanya diterjemahkan dan diwujudkan ke
dalam semua aspek kehidupannya, baik dari arsitektur, penataan kota, sampai
hal-hal kecil seperti aksesoris-aksesoris yang dipakai di tubuh.
Tidak ada benda tanpa arti. Semua bentuk dan fungsi memiliki arti
dan filosofi yang begitu mendalam. Contoh yang paling sederhana adalah pincuk.
Alas makan yang terbuat dari daun pisang itu mungkin terlihat tidak artinya
jika dilihat dari mata masyarakat kota Indonesia saat ini. Padahal, pincuk
memiliki arti filosofis yang begitu dalam, dari pincuk tersebut dibuat,
digunakan, sampai dibuang. Lembaran-lembaran baru kehidupan dilambangkan oleh
lapisan-lapisan daun pisang yang digunakan untuk membuat pincuk. Ketika pincuk
dilipat ditusuk, itu menunjukkan bahwa dalam hidup, kita harus tegas dalam
bersikap. Sisi pincuk yang terbuka melambangkan bahwa kebaikan harus diterima
sebanyak mungkin, sementara sisi pincuk yang tertutup melambangkan bahwa tidak
boleh ada pintu untuk keburukan. Keseimbangan dalam memegang pincuk di tangan
menunjukkan bahwa kehidupan kadang tidak seimbang, oleh karena itu, harus
dijaga keseimbangannya. Untuk mengambil makanan yang ada di pincuk, digunakan
sendok yang disobek dari pincuk itu sendiri. Hal itu mengajarkan kita bahwa di
dalam hidup kita harus berkorban. Selesai digunakan, pincuk dibuang; segala
sesuatu di dunia ini pasti akan berakhir.
Contoh lainnya terdapat pada arsitektur Nusantara. Rumah-rumah
adat Nusantara tidak pernah membangun pondasi di dalam tanah. Rumah-rumah hanya
diletakkan di atas tanah menggunakan alas batu. Tujuannya adalah agar rumah
tersebut dapat dipindahkan ke lokasi yang lain. Mereka hanya menumpang dan
tidak mau melukai Bumi ini. Proses pembangunan rumah pun tidak asal bangun.
Banyak ritual yang dilakukan untuk meminta restu dari leluhur dan Sang Pencipta
agar pembangunan rumah dapat berjalan lancar. Bahan dan material rumah juga di
ambil dari apa yang ada di lingkungan mereka – tidak mengimpor
material-material dari luar daerah atau bahkan luar negeri.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa leluhur kita selalu
memikirkan begitu dalam apa yang mereka lakukan, perbuat, dan ciptakan. Mereka
selalu berpikir bahwa dalam mengembangkan kehidupan harus selaras dengan alam
dan Tuhan agar semuanya seimbang. Itulah yang menjadi kearifan lokal yang
diwariskan turun-temurun oleh leluhur kita.
Akan tetapi, mungkin, modernisasi telah membuat kita melupakan apa
yang turunkan oleh leluhur kita, sebagai bekal hidup di tanah Nusantara.
Masuknya Belanda ketika bangsa kita sedang dalam fase transisi menuju
kristalisasi budaya Jawa-Hindu-Islam telah menghentikan proses tersebut.
Terlebih, Belanda masuk tanpa memberikan kesempatan bangsa Indonesia
‘berdialog’ dengan budaya mereka. Akibatnya yang terjadi adalah westernisasi
karena budaya Belanda menjadi budaya yang lebih superior dibandingkan budaya
lokal, sehingga masyarakat lokal melihat budaya Barat lebih ‘keren’ dan
‘berkelas’.
Lupanya ingatan bangsa Indonesia terhadap kearifan lokal yang
diturunkan dari leluhur kita mungkin dapat dilihat di banyak bidang kehidupan.
Dari pembangunan kota yang hanya memikirkan uang tanpa memikirkan alam yang
menjadi rusak, hilangnya rumah-rumah tradisional dari kehidupan sehari-hari,
sampai nilai-nilai yang berubah di masyarakat, seperti nilai gotong royong
mulai tergantikan dengan sifat individualis atau ekonomi koperasi menjadi
ekonomi kapitalis.
Oleh karena itu, kembali ke desain produk, perkembangan desain
produk di Indonesia tidak dapat disamakan dengan dunia desain di Barat. Kita
memiliki akar munculnya desain produk yang berbeda dengan bangsa Barat yang
industrialis. Alangkah lebih baiknya kita kembali ke akar budaya kita sebagai
bangsa Indonesia yang diturunkan leluhur kita. Mengangkat kembali nilai-nilai
kearifan lokal agar dapat menjadi bangsa yang berkarakter.
Banyak yang telah dilakukan bangsa Indonesia beberapa tahun
belakangan ini dalam mencari-cari cara untuk kembali ke jati dirinya. Namun,
sayangnya, usaha itu tidak dilakukan dengan benar-benar mendalami inti filosofi
yang menjadi asal muasal munculnya kebudayaan tersebut. Salah satu contoh yang
paling mencolok adalah penggunaan batik yang kembali populer setelah muncul
klaim dari Malaysia. Batik dipakai dimana-mana, dari kain batik sesungguhnya
sampai ‘batik-batikan’ yang ada di kain batik pabrikan atau yang hanya sekadar
motif-motif di dinding atau mobil. Mereka lupa, bahwa filosofi batik itu
bermacam-macam, tidak hanya sekadar motif. Tidak jarang yang menggunakan motif
batik untuk anggota kerajaan untuk seragam karyawannya, menjadikan batik
tersebut tidak relevan. Banyak pula tokoh-tokoh masyarakat yang ingin
menunjukkan kepeduliannya terhadap kebudayaan Sunda dengan menggunakan ikat di
kepalanya ke pertemuan-pertemuan. Akan tetapi, yang mereka gunakan adalah ikat
untuk berkelahi. Tidak heran, mereka sering kali berkelahi ketika menghadiri
pertemuan.
Mendesain sesuai budaya Nusantara tidak hanya
sekedar menghias menggunakan ornamen-ornamen Nusantara, melainkan yang
terpenting adalah mengangkat intisari dari makna budaya tersebut. Desain boleh
jadi bergaya modern, tetapi nilai yang terkandung sangat kental dengan nilai
kearifan lokal Nusantara. Itulah yang akan membedakan Desain Nusantara dengan
desain dari negara-negara lain.
Alain Malachi J. Bunjamin
Mahasiswa Desain Produk
ITENAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar