Kamis, 04 Juli 2013

DESAIN NUSANTARA


Tidak seperti dunia Barat, desain produk bisa dibilang sesuatu yang baru di Indonesia. Di Barat, desain produk berkembang karena industrialisasi berbagai bidang kehidupan bangsa Barat, dari segi ekonomi maupun kebudayaan. Bangsa Barat berkembang menjadi bangsa kapitalis karena kebudayaan mereka sejak dulu memungkinkan itu. Mereka berkembang sesuai dengan akar budaya mereka. Demikian juga desain berkembang di dunia Barat. Desain berkembang menjadi sesuatu yang industrial dan massal.

Berbeda dengan Bangsa           Barat, Indonesia dahulu tidak mengenal desain. Produk-produk budaya yang diciptakan oleh leluhur kita bukanlah hasil desain, melainkan hasil pendalaman manusia atas posisinya di semesta ini, antara alam, manusia, dan Tuhan. Perenungannya begitu dalam sehingga semuanya diterjemahkan dan diwujudkan ke dalam semua aspek kehidupannya, baik dari arsitektur, penataan kota, sampai hal-hal kecil seperti aksesoris-aksesoris yang dipakai di tubuh.

Tidak ada benda tanpa arti. Semua bentuk dan fungsi memiliki arti dan filosofi yang begitu mendalam. Contoh yang paling sederhana adalah pincuk. Alas makan yang terbuat dari daun pisang itu mungkin terlihat tidak artinya jika dilihat dari mata masyarakat kota Indonesia saat ini. Padahal, pincuk memiliki arti filosofis yang begitu dalam, dari pincuk tersebut dibuat, digunakan, sampai dibuang. Lembaran-lembaran baru kehidupan dilambangkan oleh lapisan-lapisan daun pisang yang digunakan untuk membuat pincuk. Ketika pincuk dilipat ditusuk, itu menunjukkan bahwa dalam hidup, kita harus tegas dalam bersikap. Sisi pincuk yang terbuka melambangkan bahwa kebaikan harus diterima sebanyak mungkin, sementara sisi pincuk yang tertutup melambangkan bahwa tidak boleh ada pintu untuk keburukan. Keseimbangan dalam memegang pincuk di tangan menunjukkan bahwa kehidupan kadang tidak seimbang, oleh karena itu, harus dijaga keseimbangannya. Untuk mengambil makanan yang ada di pincuk, digunakan sendok yang disobek dari pincuk itu sendiri. Hal itu mengajarkan kita bahwa di dalam hidup kita harus berkorban. Selesai digunakan, pincuk dibuang; segala sesuatu di dunia ini pasti akan berakhir.
Contoh lainnya terdapat pada arsitektur Nusantara. Rumah-rumah adat Nusantara tidak pernah membangun pondasi di dalam tanah. Rumah-rumah hanya diletakkan di atas tanah menggunakan alas batu. Tujuannya adalah agar rumah tersebut dapat dipindahkan ke lokasi yang lain. Mereka hanya menumpang dan tidak mau melukai Bumi ini. Proses pembangunan rumah pun tidak asal bangun. Banyak ritual yang dilakukan untuk meminta restu dari leluhur dan Sang Pencipta agar pembangunan rumah dapat berjalan lancar. Bahan dan material rumah juga di ambil dari apa yang ada di lingkungan mereka – tidak mengimpor material-material dari luar daerah atau bahkan luar negeri.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa leluhur kita selalu memikirkan begitu dalam apa yang mereka lakukan, perbuat, dan ciptakan. Mereka selalu berpikir bahwa dalam mengembangkan kehidupan harus selaras dengan alam dan Tuhan agar semuanya seimbang. Itulah yang menjadi kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur kita.
Akan tetapi, mungkin, modernisasi telah membuat kita melupakan apa yang turunkan oleh leluhur kita, sebagai bekal hidup di tanah Nusantara. Masuknya Belanda ketika bangsa kita sedang dalam fase transisi menuju kristalisasi budaya Jawa-Hindu-Islam telah menghentikan proses tersebut. Terlebih, Belanda masuk tanpa memberikan kesempatan bangsa Indonesia ‘berdialog’ dengan budaya mereka. Akibatnya yang terjadi adalah westernisasi karena budaya Belanda menjadi budaya yang lebih superior dibandingkan budaya lokal, sehingga masyarakat lokal melihat budaya Barat lebih ‘keren’ dan ‘berkelas’.

Lupanya ingatan bangsa Indonesia terhadap kearifan lokal yang diturunkan dari leluhur kita mungkin dapat dilihat di banyak bidang kehidupan. Dari pembangunan kota yang hanya memikirkan uang tanpa memikirkan alam yang menjadi rusak, hilangnya rumah-rumah tradisional dari kehidupan sehari-hari, sampai nilai-nilai yang berubah di masyarakat, seperti nilai gotong royong mulai tergantikan dengan sifat individualis atau ekonomi koperasi menjadi ekonomi kapitalis.

Oleh karena itu, kembali ke desain produk, perkembangan desain produk di Indonesia tidak dapat disamakan dengan dunia desain di Barat. Kita memiliki akar munculnya desain produk yang berbeda dengan bangsa Barat yang industrialis. Alangkah lebih baiknya kita kembali ke akar budaya kita sebagai bangsa Indonesia yang diturunkan leluhur kita. Mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal agar dapat menjadi bangsa yang berkarakter.

Banyak yang telah dilakukan bangsa Indonesia beberapa tahun belakangan ini dalam mencari-cari cara untuk kembali ke jati dirinya. Namun, sayangnya, usaha itu tidak dilakukan dengan benar-benar mendalami inti filosofi yang menjadi asal muasal munculnya kebudayaan tersebut. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah penggunaan batik yang kembali populer setelah muncul klaim dari Malaysia. Batik dipakai dimana-mana, dari kain batik sesungguhnya sampai ‘batik-batikan’ yang ada di kain batik pabrikan atau yang hanya sekadar motif-motif di dinding atau mobil. Mereka lupa, bahwa filosofi batik itu bermacam-macam, tidak hanya sekadar motif. Tidak jarang yang menggunakan motif batik untuk anggota kerajaan untuk seragam karyawannya, menjadikan batik tersebut tidak relevan. Banyak pula tokoh-tokoh masyarakat yang ingin menunjukkan kepeduliannya terhadap kebudayaan Sunda dengan menggunakan ikat di kepalanya ke pertemuan-pertemuan. Akan tetapi, yang mereka gunakan adalah ikat untuk berkelahi. Tidak heran, mereka sering kali berkelahi ketika menghadiri pertemuan.


Mendesain sesuai budaya Nusantara tidak hanya sekedar menghias menggunakan ornamen-ornamen Nusantara, melainkan yang terpenting adalah mengangkat intisari dari makna budaya tersebut. Desain boleh jadi bergaya modern, tetapi nilai yang terkandung sangat kental dengan nilai kearifan lokal Nusantara. Itulah yang akan membedakan Desain Nusantara dengan desain dari negara-negara lain.

Alain  Malachi J. Bunjamin
Mahasiswa Desain Produk 
ITENAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar